Saat aku mulai dibentuk menjadi manusia. Ada beberapa unsur pembangun yang dikomposisikan dengan baik sehingga dapat menjadikan diriku sebagai manusia.
Ketika kucuran darah sang Ibu yang telah melahirkan kita melekat dalam tubuh mungil dan suci. Mengirim harapan dan do’a melalui sebuah nama yang indah. Juga memandikan sikecil dengan air suci berupa firman-firman Tuhan.
Sungguh kebahagian yang tak terhingga. Bila saat itu tubuh kita yang kecil, pikiran yang polos tanpa coretan, dan hati suci yang tak pernah melahirkan iblis. Bisa merasakan nikmat dan bersyukur padaNya.
Siang terik bisa kurasa sekarang. Mulut bisa kugunakan untuk menyatakan isi hatiku. Berbeda dengan dulu ketika diriku masih menggunakan mulut ini untuk mencari perhatian oranglain.
Dulu aku sering mengucurkan air mata hanya dengan tujuan untuk diperhatikan. Mungkin saat itu menggunakan mulut, lidah, pita suara, serta komponen penghasil suara yang lain adalah hal sulit yang ingin aku lakukan.
Hanya air mata dan suara tak karuan yang sering aku gunakan agar dapat berkomunikasi dengan mereka. Aku banyak menebarkan berbagai ekspresi pada mereka, aku juga mudah menyerap pandangan mereka.
Menjalankan takdir seperti air yang mengalir. Tak ada rencana atau penetuan masa depan, dalam otakku. Berpisah dengan orang-orang lama, lalu Tuhan menggantikannya dengan mempertemukan orang yang baru.
Aku mulai tertawa dan menangis bersama mereka. Berbagi duka dan kebahagian bersama. Mungkin dalam situasi yang lain ada yang dari spesiesku mengalami hal yang terbalik dengan kenyataan yang aku hadapi.
Apa mungkin dia ada? ya, dia pasti ada bila Tuhan menghendaki dia untuk ada.
Seseorang dengan tubuh mungilnya tak dapat berbagi. Dalam usia dininya tak bisa merasakan kebersamaan. Dalam sepinya, dia mengharap teman berwujudkan nyata. Bukan teman yang hanya tumbuh di pikiran atau teman yang tak sesuai dengan sepesiesnya.
Bagaimana isi hatinya?
Bagaimana pula dia bisa bertahan dalam keadaan seperti itu?
Dan bagaimana saat dia sudah tidak mampu lagi menampung nikmat dariNya? Apakah dia akan mati? Ataukah hatinya akan meladak sehingga dia hanya bisa menyombongkan dirinya? Atau mungkin, malah dia menjadi terlalu berharap dengan semua nikmatNya?
Sumpah! otakku akan pecah bila memikirkan hal-hal itu. Tapi kenapa, pikiran itu semua terus melekatiku?
Mungkinkah aku yang akan mengalami semua ini?